DEPOK, koranbabel — Indonesia menjadi contoh sukses pengalaman transisi demokrasi dibandingkan negara-negara lain di Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Latin.
Namun, demokratisasi ini dinilai publik di Indonesia belum banyak membawa perubahan positif di bidang tata kelola pemerintahan yang baik. Kerap kali kegagalan itu dijatuhkan ke pundak para presiden Indonesia.
Demikian antara lain disampaikan Richard Robinson, guru besar emeritus Asia Research Centre dari Murdoch University dalam paparannya sebagai pembicara kunci Biannual International Conference on Indonesian Politics and Government 2015 bertajuk “Directions of Democratic Reforms and Government Effectiveness” di Universitas Indonesia, Depok, Senin (2/11/2015).
Hadir pula sebagai pembicara kunci kedua Nankyung Choi, asisten profesor City University of Hongkong.
Menurut Richard, kisah sukses demokrasi transisi di Indonesia bisa dilihat dari keberadaan pemilihan umum yang berlangsung relatif efisien dan damai untuk memilih dan mengubah pemerintah.
Selain itu, masyarakat juga sudah menikmati kebebasan besar di berbagai segi kehidupan.
Namun, ia juga mencatat muncul pendapat bahwa Indonesia belum mampu maksimal menampilkan “paket-paket” positif demokratisasi, yakni tata kelola pemerintahan yang baik, administrasi yang jujur, kemakmuran ekonomi, dan persamaan sosial.
Di sisi lain, katanya, muncul kritik soal politik uang, sinisme mendalam soal korupsi, birokrasi publik, yudisial, dan parlemen.
Menurut dia, sebagian publik, terutama komentator politik dan di media, menyalahkan buruknya kepemimpinan.
Semua kegagalan itu dijatuhkan ke pundak pemimpin, termasuk para presiden di Indonesia.
Presiden ke-3 BJ Habibie, kata Richard, umumnya disebut terlalu eksentrik untuk menerapkan kebijakan praktikal.
Sementara presiden ke-4 Abdurrahman Wahid dinilai terlalu sulit diprediksi dan idealistik, sementara presiden ke-5 Megawati disebut elitis dan terisolasi.
“Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tidak bisa mengambil kebijakan cepat. Sekarang setelah masa bulan madu berakhir, Jokowi juga secara luas disebut terlalu tidak berpengalaman dan naif secara politik,” kata Richard.
Kurang tepat
Richard menilai kurang tepat argumentasi yang menyalahkan faktor kepemimpinan politik sebagai penyebab belum berhasilnya demokrasi memperbaiki tata kelola pemerintahan.
Argumentasi ini cenderung menampilkan sikap pasif karena berarti masyarakat menanti munculnya sosok pemimpin yang tepat atau “Ratu Adil”.
Sebaliknya, ia berpendapat bukan hanya persoalan “agen” yang menjadi inti persoalan demokrasi di Indonesia, tetapi juga masalah struktur.
Ada hambatan struktural yang membuat para pemimpin itu tidak bisa menjalankan apa yang ingin mereka lakukan.
Persoalan struktur ini disebabkan demokrasi juga membuka pintu bagi para pencari kepentingan pribadi. Hal ini memunculkan oligarki politik yang menggurita di Indonesia.
Sementara itu, Nankyung Choi berpendapat bahwa sejak 2005 Indonesia sudah menerapkan pemilihan kepala daerah lokal.
Kendati oligarki politik dari elite-elite masih terlihat mendominasi, pemilihan kepala daerah langsung ini juga sudah mampu melahirkan pemimpin-pemimpin lokal yang bisa masuk ke ranah politik nasional. (kompas)
The post Presiden Indonesia Selalu Disalahkan dalam Masa Transisi Demokrasi appeared first on KORAN BABEL.
ConversionConversion EmoticonEmoticon