Koba (koranbabel.com) — Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyatakan, luasan lahan sangat kritis dan kritis di Provinsi Kepulauan Babel tahun 2014, mencapai 253.763,6 hektar atau 15,148 persen dari total luas 1.675.240,51 hektar. Sementara, pada kelas lahan yang berpotensial kritis mencapai 624.532,21 hektar. Angka terluas pada kelas lahan agak kritis mencapai 746.232,74 hektar, kelas kritis seluas 140.887,05 hektar, dan kelas sangat kritis seluas 112.878,54 hektar, dan kelas kritis lainnya seluas 39.895,54 hektar.
“Sayangnya hanya 10.814,44 hektar saja lahan masuk dalam kelas tidak kritis,” ungkap staf BLH Provinsi Kepulauan Babel, Eko Kurniawan dalam paparannya di Lokakarya Wartawan meliput perubahan iklim kerja sama dengan Lembaga Pers dan Kedubes Norwegia di Hotel Novotel Pangkalpinang, Selasa (29/9).
“Kita ada pelayanan pengaduan lingkungan hidup. Silakan masyarakat lapor kalau mengetahui terjadi kerusakan lingkungan hidup. Ada laporan, kami tindaklanjuti sesuai prosedur dan aturan hukum lain berlaku dengan melalukan kroscek ke lapangan,” tambah Eko.
Lanjutnya, saat ini Kepulauan Bangka Belitung tengah mengatasi permasalahan lingkungan hidup, dimana Angka Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) di Babel mencapai 60.21. Terdiri dari, Indeks Udara (IPU) senilai 90.93, Indek Air (IPA) senilai 61.3 dan Indeks Lahan (ITH) senilai 36.77.
“Berbanding dengan angka standart Nasional atau IKLH Nasional tahun 2014 seniai 63.42, yang derdiri dari angka IPU 80.54, IPA 52.19 dan ITH 59.01. Maka, kita masih duduk pada peringkat 24 dari 33 Provinsi se Indonesia,” tambah pria yang baru satu bulan bekerja sebagai staf BLH Babel ini.
Eko mengungkapkan bahwa saat ini pihaknya tengah konsisten melaksanakan program perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Program tersebut merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.
“Rencana strategi BLHD Babel mulai tahun 2012 hingga 2017, dengan tujuan meminimaisir ataupun mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Antara lain, pihak kami telah melakukan program penembangan kinerjaa pengelolaan persampahan, program pengendalian pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup, program peningkatan pengendalian polusi hingga program peningkatan kuaitas dan akses sumber daya alam serta lingkungan hidup,” ungkapnya.
Respon Negatif
Sayangnya, setelah awak media melakukan sosialisasi hasil pemaparan tersebut ke warga Desa Perlang kecamatan Lubuk kabupaten Bangka Tengah. Merekapun merespon negatif, karena paparan itu hanya sebatas teori mengingat masalah perambahan Hutan Lindung atas aktifitas pertambangan Pasir Kuarsa oleh PT.Walie tampas tidak selesai hingga sekarang. Salah satu masyarakat Desa Perlang, Yadi mengaku ‘muak’ setelah mendengar hasil paparan itu.
“Alasan saya muak dan bosan dengarnya. Kami sudah melakukan aksi dan pelaporan ke Pemerintah Provinsi Babel, bahwa di desa kami terjadi perambahan kawasan hutan lindung pantai Kayu Ara 10 atas aktifitas pertambangan pasir kuarsa oleh PT.Walie Tampas Citratama,” kata Yadi kepada wartawan.
Menurut dia, masyarakat sudah membuktikan bahwa PT.Walie Tampas tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan lindung Kayu Ara 10 dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, “Kami sudah mengunjungi Dinas Kehutanan Babel. Menurut Kepala Dinasnya, Nazalius bahwa izin pinjam pakai kawasan hutan lindung yang diajukan PT.Walie Tampas oleh KLHK RI. Karena saat pengajuan tahun 2013 kemarin, izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari instansi terkait dalam hal ini BLH Provinsi Babel ataupun BLH kabupaten Bateng,” katanya.
Ia menyayangkan, kenapa sertifikat Sertifikat Clear an Clean (CnC) belum tuntas karena izin pinjam pakai kawasan hutan lindung pantai Kayu Ara 10 Desa Perlang. Namun, dilapangan sejak tahun 2012 kemarin, PT.Walie Tampas sudah melakukan operasional dengan mengekploitasi pasir kuarsa, “Celakanya 14,31 hektar kawasan hutan lindungpun juga sudah dimanfaatkan untuk aktifitas operasional. Seperti jalan angkutan atau alat berat, stock pile hingga terminal khusus atau pelabuhan bongkar muat. Nah, selama ini dibiarkan, jadi apa kerjanya BLH Babel,” tukasnya.
Parahnya lagi, saat masyarakat mempertanyakan hal itu ke Pemkab Bateng melalui unjuk rasa, oleh Pemkab Bateng kewenangan sekarang ada di Pemprov Babel. Lalu saat unjuk rasa ke Pemprov Babel, oleh Pemprov Babel masih kewenangan pemkab Bateng karena UU Pemerintahan Daerah belum ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur teknis masalah pengawasan hingga penerbitan izin usaha pertambangan, “Tidak salah juga, kami muak atas kinerja BLH Babel,” imbuhnya.
Lanjutnya, lantaran Amdal belum ada, izin yang diterbitkan sebelumnya berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP) berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Bateng :188.45/004/IUP-OP/DPE/2012 dan 188.45/003/IUP-OP/DPE/2012 masing-masing seluas 150,4 Hektar dan 46,2 hektar harusnya belum bisa dimanfaatkan.
“Sekarang apa fungsi BLH di bateng atau Babel, sebaiknya dibubarkan saja. Jangan duduk manis, lalu bermain teori hanya bisa mengajak masyarakat. Justru suatu kegiatan yang salah, dibiarkan hingga terjadi pemanasan global di desa perlang akibat hutan reklamasi eks tambang PT.Koba Tin sudah gundul total,” ungkapnya.
Karena di daerah ini tidak ada tindak lanjut yang jelas, masyarakatpun akan melaporkan hal ini ke Pemerintah pusat mulai dari KLHK, Mabes Polri hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “Wajar kami lapor ke tiga instansi pemerintah tersebut, karena saling keterikatan dalam kasus perambahan hutan lindung Kayu Ara 10 yang dibiarkan selama 3 tahun belakang oleh aparat pemerintah daerah Bateng dan provinsi Babel,” tuturnya.
“Udara yang panas seperti sekarang, mudah-mudahan hilang setelah aktifitas tambang pasir kuarsa di desa Perlang tutup,” harapnya. (ron)
The post 15 Persen Lahan di Babel Berstatus Kritis appeared first on KORAN BABEL.
ConversionConversion EmoticonEmoticon